Mattojang Merupakan Warisan Budaya Tak Benda Oleh Kemendikbud RI Sejak 2023
Barru, Indonesiapost.net – Salah satu desa terpencil di kabupaten Barru, jauh dari perkotaan dengan luas wilayah kurang lebih dari 2.450 Hektar dengan jumlah penduduk 895 jiwa, jarak 30 Kilometer dari perkotaan terletak di pegunungan masih mempertahankan budayanya.
Yaitu tradisi Mattojang di Desa Pacekke, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi selatan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia 31 Agustus 2023, sebagai apresiasi terhadap pelestarian budaya yang masih hidup hingga kini.
Penetapan tersebut merupakan kebanggaan besar bagi masyarakat Barru dan bertujuan untuk menjaga serta mengembangkan tradisi di masa depan.
Pendamping kebudayaan Desa Pacekke, Kabupaten Barru, Nur Nanna menyampaikan perjuangan sebagai pendamping, sehingga Mattojang bisa masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
“Untuk prosesnya Mattojang ini mulai dari pengajuan data berupa dokumentasi
mengenai Mattojang diusulkan dan dibantu oleh kepala dinas Kebudayaan dan Pendidikan Kabupaten Barru, kemudian melalui beberapa seleksi sehingga Mattojang ini bisa menjadi Warisan Budaya Tak Benda,” ungkap Nur Nanna, Kamis (11/09/2025).
Dirinya menyampaikan perjuangan sebelumnya itu bekerja bersama menggali segala potensi yang belum muncul di kegiatan Mattojang tersebut, namun pada saat potensi pengalian tersebut muncul semua potensi-potensi budaya yang dia dapatkan seperti meminta data dari pemangku adat dan pemangku budaya yang ada di desa Pacekke.
“Mattojang itu prosesi adatnya itu adalah ayunan besar atau bisa disebut ayunan raksasa untuk di daerah lain itu Mattojang yang uniknya itu kita punya ayunan raksasa yang tingginya sekitar 10 meter terbuat dari batang kayu pinang dan talinya itu terbuat dari kulit kerbau yang sudah sangat tua dan sudah diwariskan oleh nenek kita,” paparnya.
Lebih lanjut disampaikan Nur Nanna, tradisi tersebut sudah sejak 50 tahun lalu sudah terlaksana dan turun temurun sudah dilaksanakan dalam tradisi pesta panen padi.
“Kegiatan Mattojang dilaksanakan satu kali dalam tiga tahun yang melibatkan semua masyarakat desa Pacekke, namun prosesi adat tertentu kita ada indo tojang ada anak tojang dua orang, sementara indo tojang itu merupakan pemangku adat harus mengawali dulu prosesi tersebut setelah masyarakat selanjutnya,” lebih lanjutnya.
Ia menambahkan, dua anak tojang itu menceritakan filosofi atau sejarahnya bahwa anak kecil itu menggunakan ayunan sejak lahir hingga jadi balita seperti anak tojang tersebut.
“Kegiatan tradisi adat Mattojang sendiri dengan memakai pakaian ada seperti laki-laki mengunakan Songko Racca, sementara perempuan dewasa mengunakan baju bodoh, dan anak kecil memakai pakaian penganting adat suku Bugis Sulawesi selatan,” akhirnya.(Ullah)