2025 Rakyat Indonesia Bangkit
OPINI – Tahun 2025 menorehkan kembali luka bangsa. Gelombang mahasiswa dan masyarakat tumpah ke jalan. Seorang driver ojol tewas digilas, mahasiswa luka-luka, rakyat terinjak di tanah air yang sejatinya kaya raya.
Aksi-aksi ini bukan kebetulan. Ia lahir dari jurang lebar antara rakyat yang semakin terhimpit dan wakil rakyat yang semakin angkuh.
Pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut wacana pembubaran parlemen sebagai “tolol” menjadi simbol arogansi.
Kalimat itu menyinggung nurani rakyat, sekaligus menunjukkan betapa DPR semakin jauh dari mandat rakyat. Mereka yang seharusnya menjadi penyambung lidah bangsa, kini justru menutup telinga dan melukai hati.
Lebih ironis, DPR berbicara tentang penanaman nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan. Namun perilaku mereka sendirilah yang paling bertolak belakang dengan Pancasila.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mereka abaikan, keadilan sosial mereka nodai, dan persatuan bangsa terkoyak oleh kesenjangan yang semakin nyata.
Di negeri yang subur dengan hasil bumi melimpah, Emas, batu bara, nikel, Minyak gas, hingga pangan, rakyat justru hidup dalam tekanan pajak. Kita merdeka, tetapi dijajah oleh pungutan kekuasaan.
Beli rumah kena pajak. Jual rumah kena pajak. Bahkan makan dan minum pun tidak luput dari pajak. Sementara itu, anggota DPR bergelimang fasilitas: gaji pokok belasan juta, tunjangan yang berlapis, fasilitas rumah dan kendaraan dinas, hingga dana aspirasi. Semua itu bersumber dari keringat rakyat.
Pertanyaan yang wajar muncul: apakah DPR benar-benar mewakili rakyat? Apakah pantas mereka bicara tentang kebangsaan, sementara rakyat terus diperas? Apakah pantas mereka mengajarkan Pancasila lewat program-program seremonial yang hanya menghamburkan uang negara, tanpa menyentuh persoalan nyata rakyat?
Kontradiksi ini mencolok di mata publik. Saat pemilu, politisi mendekati rakyat dengan wajah merendah dan janji manis. Namun setelah duduk di kursi empuk Senayan, mereka hidup di menara gading, jauh dari penderitaan rakyat. Itulah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan Pancasila.
Sejarah bangsa membuktikan, ketika kekuasaan menutup mata dan telinga, rakyatlah yang memaksa perubahan. Tahun 1998 menjadi pengingat. Kini, di 2025, tanda-tanda itu kembali muncul. Bedanya, rakyat kini lebih kritis, lebih sadar, dan lebih berani menuntut haknya.
DPR harus ingat: mereka ada karena rakyat, bukan rakyat karena DPR. Jika DPR terus mengkhianati Pancasila dan merendahkan rakyat, maka rakyat berhak mengguncang kursi kekuasaan. Kedaulatan bukan milik elit Senayan, melainkan milik rakyat. Dan bila kesabaran habis, rakyat akan mengambilnya kembali.
ÖPINI
Penulis : Muchlis