NATAL

Wayang Kulit di Desa Sukadame: Bukan Sekadar Warisan, Tapi Napas Budaya yang Harus Dijaga

0

Labuhanbatu Selatan — Di malam yang hening di Desa Sukadame, Kecamatan Silangkitang remang cahaya blencong memantul di layar putih, menghadirkan bayang-bayang wayang yang menari mengikuti irama gamelan dan suara sang dalang.

Senin malam (14/7/2025), bukan sekadar tontonan yang digelar, melainkan ikhtiar sakral untuk merawat warisan budaya dan memanjatkan doa demi keselamatan seluruh warga desa.

Wayang kulit, di tengah gempuran budaya global dan derasnya arus digitalisasi, tampil bukan hanya sebagai pertunjukan tradisional, tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap hilangnya identitas kultural.

Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, menyampaikan nilai, membentuk karakter, dan menyuarakan kearifan leluhur.

Kepala Desa Sukadame, Wagianto, menegaskan bahwa pelestarian budaya bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan bagian penting dari menjaga jati diri bangsa.

“Wayang kulit adalah jiwa leluhur yang hidup. Ia bukan hiburan kosong, tapi pengingat moral, etika, dan nilai-nilai spiritual yang mulai dilupakan. Ini bukan hanya pertunjukan, ini adalah panggilan untuk tidak melupakan akar kita,” ujar Wagianto, dengan nada suara yang menggugah.

Pertunjukan wayang kulit ini rutin digelar setiap Tahun Baru Jawa di Bulan Suro, bulan yang sarat makna bagi masyarakat Jawa.

Selain menjadi ajang refleksi spiritual, kegiatan ini juga disertai doa bersama, sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur.

Lima Fungsi Wayang Kulit yang Diperjuangkan Masyarakat Sukadame:

Sarana Hiburan Penuh Makna
Menyuguhkan kisah penuh filosofi, bukan tontonan kosong tanpa arah.

Media Pendidikan Karakter
Menanamkan nilai tanggung jawab, hormat, dan kesadaran sosial.

Alat Dakwah dan Penyampaian Nilai Keimanan
Disampaikan dengan bahasa seni yang halus, menyentuh batin.

Ritual Sakral
Bagian dari harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Benteng Budaya
Menjadi tembok pertahanan agar generasi muda tidak tercerabut dari akar identitasnya.

Wagianto mengingatkan bahwa tugas merawat budaya bukan hanya milik seniman atau pemerintah desa, melainkan tanggung jawab bersama.

“Kalau anak-anak kita lebih kenal TikTok daripada gendhing, maka kita sedang menyaksikan pelan-pelan kematian budaya kita sendiri. Maka kami berdiri di sini, tegak, menjaga dan merawat apa yang diwariskan dengan air mata dan doa oleh leluhur kita,” tegasnya.

Kegiatan ini turut dihadiri oleh Penjabat Kepala Desa S6 Aek Nabara Sholihin Lubis, SE, Ketua BPD S6 Supriyono, Babinsa, Bhabinkamtibmas, serta para tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, dan masyarakat setempat.

Antusiasme warga terlihat dari padatnya lokasi pertunjukan yang digelar terbuka, di bawah langit malam yang bersaksi atas hidupnya kembali jiwa budaya yang sempat nyaris pudar.

Wayang kulit di Desa Sukadame bukan hanya pertunjukan seni, tetapi ikrar perlawanan terhadap kepunahan nilai, dan napas panjang untuk menjaga Indonesia tetap berbudaya.(MS)

Leave A Reply

Your email address will not be published.